Selasa, 10 Desember 2013

Tahun Politik 2014 Gerbang Masa Depan

Tahun 2014 bangsa Indonesia bakal menggelar perhelatan akbar yaitu Pesta Demokrasi pemilu legislatif dan pemilu presiden. Menuju tahun politik ini ada banyak peristiwa yang mengikuti dalam konteks bernegara. Kegaduhan politik, kesengsaraan ekonomi, keserakahan oknum pejabat, ketamakan oknum politikus, premanisme, terorisme, mendera duka lara negeri ini.

Banyak anak bangsa yang seharusnya pantas menjadi tauladan bagi anak bangsa yang lebih muda justru menunjukkan sikap dan perilaku yang tercela. Semakin sulit dimengerti, kenapa bangsa ini terus-terusan dirongrong oleh anak bangsa sendiri. Susah payah para pejuang mengorbankan jiwa dan raganya merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan mereka bayar dengan pengkhianatan atas tujuan bangsa dalam mensejahterakan bangsa lahir dan batin.

Gerbang Masa Depan bangsa sudah dibuka untuk bulan-bulan kedepan. Tinggal bagaimana kita mau berkaca pada kegagalan, keterpurukan, kesengsaraan yang mendera bangsa ini. Calon-calon legislatif sudah disajikan, calon-calon pemimpin sedang ditimang-timang.

Kini, diperlukan format yang perlu dibangun untuk melahirkan pemimpin masa depan yang visioner yang mampu membawa Indonesia jaya di masa yang akan datang tegas konsisten, amanah serta dipercaya, dan mampu berdikari, berdaulat sepenuhnya.

Senin, 09 Desember 2013

Dua Dekade Semangat Pergerakan Indonesia

Semangat pergerakan dalam dua dekade belakangan ini terasa masih kurang efektif, khususnya pembentukan jiwa negarawan, nasionalisme, patriotisme, demokrasi, kerakyatan, dan kedaulatan.Tercatat oleh sejarah bagaimana dua tipe pergerakan mewarnai dunia politik Indonesia.

Tipe pergerakan pertama yaitu diisi oleh bapak-bapak sepuh kita seperti Mantan Kapolri Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santoso, mantan Gubernur DKI Ali Sadikin, mereka terhimpun dalam gerakan kritis bernama Petisi 50 menjadi "duri dalam daging" pemerintahan Soeharto kala itu. Petisi 50 menentang dan mengkritisi perintah karena mengubah pandangan Pancasila sebagai pemersatu bangsa tapi sejalan waktu digunakan sebagai senjata dan tameng untuk menghukum bagi mereka yang berseberangan. Di Era inilah yang namanya demokrasi benar-benar mati! Suasana mencekam kerap melanda keluarga dan kolega para penandatangan Petisi 50, namun beliau-beliau tetap ada dipermukaan - tidak tiarap - tidak underground. Benar-benar tangguh mereka ini !


Tipe pergerakan yang kedua diisi oleh kaum muda, aktivis kampus, aktivis HAM, dan intelektual muda. Mereka membentuk formasi dimana-mana, dengan gaya militansi dan semangat juang yang berkobar. Ada formasi yang tampak, namun banyak pula yang undergroung (bawah tanah). Maklum, anak muda! Tak sedikit dari mereka akhirnya "diciduk" oleh aparat maupun oknum aparat. Saat itu hanya satu target besar yang ingin mereka capai yaitu Tumbangkan Soeharto! Peluru karet, gas air mata, popor bedil, penjara, dan cap komunis sudah menjadi menu mereka sehari-hari dalam tiap gerakan demo mereka. Mahasiswa dan dosen pun tak ketinggalan merangsak dan mengobrak abrik tirani. Tersebutlah Budiman Sudjatmiko mahasiswa UGM memimpin Partai Rakyat Demokratik (PRD) perjuangannya berakhir dalam penjara. Begitu pula Sri Bintang Pamungkas dosen ITB memimpin demo di Jerman saat Soeharto dan rombongan berkunjung ke sana, berakhir pula di penjara.

Hasilnya apa sekarang.........??????
Kreatifitas bangsa melahirkan banyak industri kreatif, industri perfileman, industri olah raga, inilah industri-industri yang kreatif dan positif. Sekarang sudah menjadi kenyataan bahwa ada industri baru yang lahir yaitu Industri Politik. Hiiii....ngeri!!!!

INDUSTRI POLITIK!!!!???
Parpol menghimpun dana dengan jual beli proyek trilyunan rupiah.
Dinasti kekuasaan meraup dana pembangunan untuk rakyat jelata mengisi pundi-pundi harta bapaknya, ibunya, om tantenya, anak cucunya dan kerabat dekatnya.
Oknum anggota dewan mendesak-desak untuk disogok, merayu-rayu jadi pengijon proyek-proyek penting.
Parpol, pemimpin kekuasaan, dan anggota dewan (bukan oknum, karena sudah hampir merata) semakin jauh dari rakyat, melupakan amanah, melupakan pengorbanan para pejuang kusuma bangsa. Berlomba-lomba menjadi pengkhianat!